Otomotife.com – Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Marwan O. Baasir mengungkapkan beberapa orang pro kontra apabila Satelit Starlink milik Elon Musk resmi hadir di tempat Indonesia.
Marwan menjelaskan, salah satu keunggulan satelit Starlink adalah jangkauannya sudah mencakup secara global, termasuk Indonesia. Selain itu, satelit milik Elon Musk hal itu juga mempunyai kapasitas data rate yang tersebut besar.
“Sehingga itu bisa saja dimanfaatkan untuk wilayah yang tersebut belum terjangkau, atau wilayah 3T,” kata Marwan dalam acara diskusi Selular yang digelar pada Jakarta, Senin (27/11/2023).
Menurutnya, satelit Starlink mampu menjadi opsi percepatan layanan internet broadband di area wilayah yang belum terjangkau layanan broadband terestrial, termasuk bisa jadi dimanfaatkan oleh penyelenggara seluler sebagai backhaul.
Sementara untuk kontra, Marwan menyebut kalau satelit Starlink memerlukan biaya mahal. Di Malaysia misalnya, tarif perangkat untuk menerima sinyal dari Starlink (sejenis router) bisa jadi tembus Rp 8 juta.
“Starlink di dalam Malaysia ini sudah launching. Expensive (mahal). Harganya kira-kira Rp 8 juta,” ungkapnya.
Selain itu, kehadiran Starlink juga berpotensi mengancam kegiatan bisnis penyelenggara telekomunikasi nasional seperti operator seluler, jaringan tertutup (Jartup), hingga penyelenggara Satelit Geostasioner (GSO).
Maka dari itu, Marwan menegaskan kalau satelit Starlink perlu diatur Kementerian Komunikasi dan juga Informatika (Kominfo) sebagai regulator agar bukan mengganggu usaha yang digunakan sudah ada di area Tanah Air.
“Untuk yang tersebut kontra, jika bukan diatur secara tepat, perusahaan Starlink berpotensi bisa saja mengancam perusahaan penyelenggara telko nasional seperti Seluler, Jartup kemudian penyelenggara satelit GSO,” papar dia.
Lebih lanjut, Marwan menegaskan kalau Starlink belum mempunyai izin penyelenggara jasa sebagai internet service provider (ISP) dalam Indonesia.
“Starlink pun masih memakai IP (internet protocol) global sehingga berpotensi ada isu perlindungan data pribadi juga kedaulatan negara,” timpal dia.
Berangkat dari sana, ATSI mengusulkan kepada pemerintah untuk menerapkan kebijakan baru apabila Satelit Starlink benar-benar masuk ke Indonesia. Pertama, Starlink harus masuk sebagai layanan business to business (B2B), bukan langsung ke konsumen alias B2C.
Kedua, satelit Starlink juga harus kerja mirip dengan penyelenggara satelit di tempat Indonesia. Ketiga, Satelit Starlink harus memiliki izin landing right atau hak labuh lalu izin jartup untuk layanan backhaul.
Keempat, satelit Starlink harus menggunakan alokasi penomoran IP Indonesia. Kelima, lanjut Marwan, mereka itu harus membangun server serta disaster recovery center (DRC) alias infrastruktur untuk memulihkan infrastruktur apabila terjadi bencana.
“Terakhir, mereka harus comply (patuh) terhadap regulasi Lawful Interception (penyadapan legal) di tempat Indonesia, dan juga sebagai penyelenggara jasa, Starlink harus dikenakan kewajiban untuk membayar BHP (biaya hak penggunaan) telekomunikasi lalu USO (universal service obligation),” tandasnya.